Cikal Ringgin Paneduh | PB 3B |
1612020027
PENULISAN FIKSI
“Tak
Sempat Terucap”
Ini semua hanyalah secuil kisah
manis sekaligus pahit seorang gadis yang baru saja memulai cinta kepada lawan
jenisnya. Yang nyatanya, cinta hadir beriringan dengan luka. Begitulah
simpulnya dalam hati.
Tahun
ini adalah tahun pertamaku di bangku kuliah. Rasa bangga, senang, bercampur
aduk saat ku tahu aku lolos seleksi Perguruan Tinggi Negeri jurusan Komunikasi.
Hari-hariku di bangku kuliah sama halnya dengan mahasiswa lain. Ya, aku seorang mahasiswa bukan lagi siswa
dengan pakaian putih abu-abu. Kami mengikuti serangkaian kegiatan seperti, ospek
universitas, ospek jurusan, bimbingan mahasiswa baru, dan kesibukan lainnya
sebagai mahasiswa baru.
Beruntungnya aku masuk kelas B dan
menemukan banyak karakter berbeda di dalam kelas, mendapat pelajaran baru,
pengalaman baru, dan............. siapa
dia? Umpatku dalam hati. Pria tinggi
dengan kulit sawo matang berdiri di depan kelasku. Pria itu tidak sendiri, tapi
ia bersama senyuman di wajahnya yang sungguh sangat menarik perhatianku.
Pertemuanku, lebih tepatnya kehadirannya semakin sering tertangkap oleh kedua
mataku. Tanpa disirami air apapun, rasa penasaran itu tumbuh. Aku mulai menulis
tentangnya setiap malam. Hanya berani
menulis kata-kata tanpa sanggup berkata-kata. Itulah aku.
****
Senyum di wajahku terus mengambang
setiap harinya. Aku mulai tidur malam teratur untuk bangun lebih awal dan
berangkat ke kampus dengan angkutan umum. Tak ada rasa malas sedikitpun yang
hinggap di pikiranku. Aku mulai menikmati masa-masa di bangku kuliah. Aku
sangat suka menulis dan sengaja masuk jurusan ini karena memang dari sebelum
terjun saja aku sudah menyukainya. Tapi, aku juga suka dengan sosok pria itu.
Yang menambah seratus kali lipat semangat dan energi positifku sejak aku
melihatnya, dengan seksama bukan sekedar sekilas. Aku tak peduli jika kenyataan
mengatakan kalau aku berlebihan. Ia yang sudah membuatku begini. Aku berharap
lebih semoga cinta tak datang begitu cepat tanpa alasan yang jelas. Namun, kenyataan lain menunjukkan padaku bahwa
cinta hadir tanpa alasan.
PUKKKK!!!
Serentak dari belakang punggungku terasa ada pukulan yang menghantam. Sudah ku
duga, mereka adalah makhluk paling usil yang baru saja kutemui di tempat ini.
Deli, Dewi, Emi, dan Najah, mereka adalah teman dekatku di kelas. Kami berlima,
entah sudah bisa disebut sahabat atau belum yang pasti kami cukup dekat. “Cik! Sebenarnya siapa sih pria yang kau sukai
itu? Sudahlah terus terang saja pada kami. Jangan berlama-lama seperti orang
bodoh.” Deli namanya, yang dari tadi terus saja merocos seperti ujung
mercon. Sebelum aku menjawab, yang lainnya ikut sibuk membujukku dengan muka
penuh tanya seolah bertanya, “Cepatlah katakan cik... cepat.”
Dengan segera aku mengajak mereka
berempat keluar kelas. “Itu dia orangnya.
Lihatlah bukankah dia sangat manis untuk dinikmati? Tapi cukup aku saja yah,
kalian jangan ikut-ikutan. Awas saja macam-macam!” bentakku tanpa sadar.
Serentak mereka tertawa lepas, terjungkal-jungkal sambil memegang perut
masing-masing, yang menurutku tawa penuh ledekkan. Siapa yang peduli? Aku Cuma peduli dengannya. Kira-kira siapa yah
namanya....? Seketika muncul
pertanyaan itu.
****
Pagi buta, saat mataku masih enggan
untuk membuka kelopaknya. Aku dikejutkan dengan bunyi pesan singkat dari Deli. “Cik aku punya fakta mengenai seseorang yang
pasti tak kan pernah kamu sesali saat kamu mengetahuinya. Tidak sekarang ya,
tapi nanti.” Kemudian aku
melanjutkan tidur setelah membaca pesan singkat itu.
Setibanya di kelas B...
“Cik ternyata nama pria yang kau sukai itu Awan, dia mahasiswa
tingkat akhir jurusan Desain Grafis. Aku dapat info ini karena ternyata dia
adalah teman lama kakakku. Oh, iya sepertinya dia belum punya pacar. Kamu pasti
bisa kenal lebih dekat dengan dia.” Tubuhku sekejap kaku, otakku seketika
menegang. Entah aku harus bersikap apa, yang sepertinya aku tak punya daya
untuk mendekati pria itu. Aku hanya ingin
terus menyukainya secara diam-diam. Mungkin saja aku berjodoh dengannya.
Mungkin juga..... ah sudahlah.
Ada
perasaan lega yang membelenggu semenjak ku dengar Awan belum punya pacar. Seringkali
aku berjalan berpapasan bahkan beriringan dengannya, walau sebenarnya itu semua
karena kelas kami yang berseberangan. Bahkan sekedar ingin menyapa sebagai
junior-senior hai kak! selamat pagi kak!
aku tak mampu apalagi harus mengajaknya berkenalan. Dasar bodoh!!!! Sesalku.
Pernah juga aku berpapasan dengannya
di lorong gedung Z, dia tersenyum.. hah?
Mimpikah aku?! Ya Tuhan begitu indah makhluk ciptaanmu itu. Percaya dirinya
aku menyangka senyuman itu untukku. Tapi aku yakin sekali, karena saat itu
memang tidak ada makhluk lain selain kita berdua. Bumi serasa berhenti
berputar, tak ada kehidupan. Kecuali antara aku dan dia. Aku berusaha memudarkan
segala kemungkinan yang ada di otakku. Mungkin
dia memang tipikal peramah. Yang pasti bukan hanya aku saja senyuman itu. Sejak
senyumannya tertancap dalam di hatiku, sedetik pun aku tidak pernah lewatkan
untuk membayangkan wajahnya. Yaaaaah aku
benar-benar harus menulis!
****
Setibanya di kelas, seperti biasa
aku pergi ke kantin untuk membeli sarapan. Karena Ibuku jarang sekali membuat
sarapan. Tak sengaja aku mendengar sesuatu dari balik tubuhku. “Wan, akhirnya lu berhasil juga ya ngajak
doi kencan semalam. Cie, doyan maba (re: mahasiswa baru)! Asal jangan lupa peje
(re: pajak jadian) lu!”
Aku tidak langsung berbalik,
semuanya terasa menyakitkan. Apa yang
harus disesali? Kenapa aku begitu kecewa? Bukankah ini semua salahku yang tak
sedikit pun memberikan sinyal kepadanya. Tampak sebersit kebahagiaan di
wajahnya, aku menoleh dalam waktu per sekian detik. Di kelas, aku hanya
terdiam, termangu, mencoba menelan mentah-mentah kenyataan yang baru saja ku
terima. Akhirnya, aku menangis. Dalam diam, hatiku menangis. Perih, pedih, dan
segala bentuk luka yang menyayat. Rupanya aku tak pandai untuk mencintai
seseorang. Dengan segala kekuatanku, aku menyerah. Mungkin ini saatnya aku
melambaikan tangan dan berkata “Selamat
tinggal Kak. Apapun yang kau anggap baik, lakukanlah. Aku disini turut
berbahagia.” Pikirku itu semua hanya omong kosong. Nyatanya aku tak
benar-benar bahagia.
****
Satu tahun berlalu dengan cepat,
kini tak pernah ku temukan kembali senyuman itu. Senyuman yang membuatku jatuh
hati sejak awal pertama aku melihatnya. Aku pun tak pernah tahu keberadaannya
sekarang, kerja dimana sekarang, apalagi mengenai hubungan asmaranya. Sejak aku
mengetahui ada seseorang di hatinya, aku tak lagi ingin tahu tentang semua itu.
Sampai sekarang aku masih saja diselimuti kecewa dan sedikit menaruh harapan.
Sisa-sisa harapan yang mungkin saja ia tercipta hanya untukku.
Ia pergi bersama rasa yang pernah kumiliki untuknya. Ia
menghilang sebelum aku katakan cinta untuknya. Kini, yang tersisa hanya sesal.
Entah sesal karena aku telah mengenalnya untuk kemudian mencintainya. Atau entah
sesal karena aku mencintainya tanpa sanggup berterus terang sampai akhirnya kau
pergi dan menghilang.
“Tamat”