Jumat, 13 Juni 2014

Tak Sempat Terucap

 Cikal Ringgin Paneduh | PB 3B | 1612020027
 PENULISAN FIKSI

“Tak Sempat Terucap”
            Ini semua hanyalah secuil kisah manis sekaligus pahit seorang gadis yang baru saja memulai cinta kepada lawan jenisnya. Yang nyatanya, cinta hadir beriringan dengan luka. Begitulah simpulnya dalam hati.
            Tahun ini adalah tahun pertamaku di bangku kuliah. Rasa bangga, senang, bercampur aduk saat ku tahu aku lolos seleksi Perguruan Tinggi Negeri jurusan Komunikasi. Hari-hariku di bangku kuliah sama halnya dengan mahasiswa lain. Ya, aku seorang mahasiswa bukan lagi siswa dengan pakaian putih abu-abu. Kami mengikuti serangkaian kegiatan seperti, ospek universitas, ospek jurusan, bimbingan mahasiswa baru, dan kesibukan lainnya sebagai mahasiswa baru.
            Beruntungnya aku masuk kelas B dan menemukan banyak karakter berbeda di dalam kelas, mendapat pelajaran baru, pengalaman baru, dan............. siapa dia?  Umpatku dalam hati. Pria tinggi dengan kulit sawo matang berdiri di depan kelasku. Pria itu tidak sendiri, tapi ia bersama senyuman di wajahnya yang sungguh sangat menarik perhatianku. Pertemuanku, lebih tepatnya kehadirannya semakin sering tertangkap oleh kedua mataku. Tanpa disirami air apapun, rasa penasaran itu tumbuh. Aku mulai menulis tentangnya setiap malam. Hanya berani menulis kata-kata tanpa sanggup berkata-kata. Itulah aku.
****
            Senyum di wajahku terus mengambang setiap harinya. Aku mulai tidur malam teratur untuk bangun lebih awal dan berangkat ke kampus dengan angkutan umum. Tak ada rasa malas sedikitpun yang hinggap di pikiranku. Aku mulai menikmati masa-masa di bangku kuliah. Aku sangat suka menulis dan sengaja masuk jurusan ini karena memang dari sebelum terjun saja aku sudah menyukainya. Tapi, aku juga suka dengan sosok pria itu. Yang menambah seratus kali lipat semangat dan energi positifku sejak aku melihatnya, dengan seksama bukan sekedar sekilas. Aku tak peduli jika kenyataan mengatakan kalau aku berlebihan. Ia yang sudah membuatku begini. Aku berharap lebih semoga cinta tak datang begitu cepat tanpa alasan yang jelas. Namun, kenyataan lain menunjukkan padaku bahwa cinta hadir tanpa alasan.
            PUKKKK!!! Serentak dari belakang punggungku terasa ada pukulan yang menghantam. Sudah ku duga, mereka adalah makhluk paling usil yang baru saja kutemui di tempat ini. Deli, Dewi, Emi, dan Najah, mereka adalah teman dekatku di kelas. Kami berlima, entah sudah bisa disebut sahabat atau belum yang pasti kami cukup dekat. “Cik! Sebenarnya siapa sih pria yang kau sukai itu? Sudahlah terus terang saja pada kami. Jangan berlama-lama seperti orang bodoh.” Deli namanya, yang dari tadi terus saja merocos seperti ujung mercon. Sebelum aku menjawab, yang lainnya ikut sibuk membujukku dengan muka penuh tanya seolah bertanya, “Cepatlah katakan cik... cepat.”
            Dengan segera aku mengajak mereka berempat keluar kelas. “Itu dia orangnya. Lihatlah bukankah dia sangat manis untuk dinikmati? Tapi cukup aku saja yah, kalian jangan ikut-ikutan. Awas saja macam-macam!” bentakku tanpa sadar. Serentak mereka tertawa lepas, terjungkal-jungkal sambil memegang perut masing-masing, yang menurutku tawa penuh ledekkan. Siapa yang peduli? Aku Cuma peduli dengannya. Kira-kira siapa yah namanya....?  Seketika muncul pertanyaan itu.
****
            Pagi buta, saat mataku masih enggan untuk membuka kelopaknya. Aku dikejutkan dengan bunyi pesan singkat dari Deli. “Cik aku punya fakta mengenai seseorang yang pasti tak kan pernah kamu sesali saat kamu mengetahuinya. Tidak sekarang ya, tapi nanti.”  Kemudian aku melanjutkan tidur setelah membaca pesan singkat itu.
Setibanya di kelas B...
            “Cik ternyata nama pria yang kau sukai itu Awan, dia mahasiswa tingkat akhir jurusan Desain Grafis. Aku dapat info ini karena ternyata dia adalah teman lama kakakku. Oh, iya sepertinya dia belum punya pacar. Kamu pasti bisa kenal lebih dekat dengan dia.”  Tubuhku sekejap kaku, otakku seketika menegang. Entah aku harus bersikap apa, yang sepertinya aku tak punya daya untuk mendekati pria itu. Aku hanya ingin terus menyukainya secara diam-diam. Mungkin saja aku berjodoh dengannya. Mungkin juga..... ah sudahlah.
            Ada perasaan lega yang membelenggu semenjak ku dengar Awan belum punya pacar.  Seringkali aku berjalan berpapasan bahkan beriringan dengannya, walau sebenarnya itu semua karena kelas kami yang berseberangan. Bahkan sekedar ingin menyapa sebagai junior-senior hai kak! selamat pagi kak! aku tak mampu apalagi harus mengajaknya berkenalan. Dasar bodoh!!!!  Sesalku.
            Pernah juga aku berpapasan dengannya di lorong gedung Z, dia tersenyum.. hah? Mimpikah aku?! Ya Tuhan begitu indah makhluk ciptaanmu itu. Percaya dirinya aku menyangka senyuman itu untukku. Tapi aku yakin sekali, karena saat itu memang tidak ada makhluk lain selain kita berdua. Bumi serasa berhenti berputar, tak ada kehidupan. Kecuali antara aku dan dia. Aku berusaha memudarkan segala kemungkinan yang ada di otakku. Mungkin dia memang tipikal peramah. Yang pasti bukan hanya aku saja senyuman itu. Sejak senyumannya tertancap dalam di hatiku, sedetik pun aku tidak pernah lewatkan untuk membayangkan wajahnya. Yaaaaah aku benar-benar harus menulis!
****
            Setibanya di kelas, seperti biasa aku pergi ke kantin untuk membeli sarapan. Karena Ibuku jarang sekali membuat sarapan. Tak sengaja aku mendengar sesuatu dari balik tubuhku. “Wan, akhirnya lu berhasil juga ya ngajak doi kencan semalam. Cie, doyan maba (re: mahasiswa baru)! Asal jangan lupa peje (re: pajak jadian) lu!”
            Aku tidak langsung berbalik, semuanya terasa menyakitkan. Apa yang harus disesali? Kenapa aku begitu kecewa? Bukankah ini semua salahku yang tak sedikit pun memberikan sinyal kepadanya. Tampak sebersit kebahagiaan di wajahnya, aku menoleh dalam waktu per sekian detik. Di kelas, aku hanya terdiam, termangu, mencoba menelan mentah-mentah kenyataan yang baru saja ku terima. Akhirnya, aku menangis. Dalam diam, hatiku menangis. Perih, pedih, dan segala bentuk luka yang menyayat. Rupanya aku tak pandai untuk mencintai seseorang. Dengan segala kekuatanku, aku menyerah. Mungkin ini saatnya aku melambaikan tangan dan berkata “Selamat tinggal Kak. Apapun yang kau anggap baik, lakukanlah. Aku disini turut berbahagia.” Pikirku itu semua hanya omong kosong. Nyatanya aku tak benar-benar bahagia.
****
            Satu tahun berlalu dengan cepat, kini tak pernah ku temukan kembali senyuman itu. Senyuman yang membuatku jatuh hati sejak awal pertama aku melihatnya. Aku pun tak pernah tahu keberadaannya sekarang, kerja dimana sekarang, apalagi mengenai hubungan asmaranya. Sejak aku mengetahui ada seseorang di hatinya, aku tak lagi ingin tahu tentang semua itu. Sampai sekarang aku masih saja diselimuti kecewa dan sedikit menaruh harapan. Sisa-sisa harapan yang mungkin saja ia tercipta hanya untukku.
            Ia pergi bersama rasa yang pernah kumiliki untuknya. Ia menghilang sebelum aku katakan cinta untuknya. Kini, yang tersisa hanya sesal. Entah sesal karena aku telah mengenalnya untuk kemudian mencintainya. Atau entah sesal karena aku mencintainya tanpa sanggup berterus terang sampai akhirnya kau pergi dan menghilang.

“Tamat”



Tidak ada komentar:

Posting Komentar